Sertifikasi Sawit Berkelanjutan: Solusi atau Sekadar Ilusi?

Industri kelapa sawit di Indonesia menghadapi tantangan besar: bagaimana mengembangkan produksi secara ekonomi sekaligus menjaga lingkungan dan sosial. Dalam konteks ini, skema sertifikasi seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dipandang sebagai alat untuk membuat komoditas sawit lebih berkelanjutan, tetapi muncul pertanyaan: apakah mereka benar-benar solusi atau hanya ilusi?

Apa itu ISPO dan RSPO?

ISPO adalah sertifikasi yang diwajibkan bagi pelaku usaha kelapa sawit di Indonesia; sesuai dengan Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2020, ISPO mencakup aspek legalitas, ekonomi, sosial-budaya serta lingkungan. 

RSPO, di sisi lain, adalah skema internasional, bersifat sukarela dan menyatukan berbagai pemangku kepentingan dalam rantai pasok sawit untuk mendorong produksi sawit yang ramah lingkungan dan sosial. Kedua skema ini pun telah menjalin kerjasama untuk mengefektifkan penerapan sertifikasi di Indonesia.

Potensi Solusi

Beberapa pihak melihat sertifikasi sebagai solusi karena beberapa alasan berikut:

  • Sertifikasi mendorong legalitas dan tata kelola yang lebih baik: Sebagai contoh, riset menunjukkan bahwa pelaksanaan ISPO di provinsi Riau mendorong formalitas lahan petani swadaya dan akses ke pasar.
  • Sertifikasi membuka akses ke pasar global: Perusahaan besar di Indonesia mulai menargetkan sertifikasi RSPO dan ISPO untuk memenuhi tuntutan pasar ekspor. 
  • Sertifikasi meningkatkan reputasi dan tekanan untuk praktik yang lebih baik: Misalnya, program bersama di Aceh yang melibatkan RSPO-ISPO untuk mendukung petani kecil mendapatkan sertifikat.
  • Memberi kerangka kerangka bagi keberlanjutan: Studi menunjukkan bahwa baik ISPO maupun RSPO memiliki tujuan untuk mengurangi deforestasi, emisi gas rumah kaca dan memastikan kepatuhan hukum.

Tantangan dan Keraguan

Meskipun demikian, terdapat banyak keraguan bahwa sertifikasi benar-benar menjalankan fungsi penuh sebagai solusi. Berikut beberapa tantangan utama:

  • Cakupan yang masih terbatas: Data menunjukkan bahwa luas lahan bersertifikasi masih jauh dari total area perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Misalnya, hingga November 2022, ISPO baru mencakup sekitar 3,65 juta ha (≈25%), dan RSPO sekitar 2,42 juta ha (≈16,6%) dari total perkebunan.
  • Beban biaya dan kepatuhan bagi petani kecil: Banyak petani kecil mengalami kesulitan memperoleh sertifikasi karena biaya, persyaratan legalitas, dan kapasitas teknis. RSPO sendiri dalam MoU dengan pemerintah Jambi menyebut bahwa kurang dari 1% petani kecil telah bersertifikat per tahun-tahun tertentu.
  • Standar berbeda dan tumpang tindih: Terdapat perbedaan signifikan antara ISPO dan RSPO dari sisi persyaratan (mis. konsep FPIC, High Conservation Value).
  • Efektivitas pengawasan dan realitas lapangan: Meskipun standar di atas kertas bagus, praktik di lapangan seringkali tertinggal — misalnya penegakan hukum yang masih lemah, pelanggaran sosial dan lingkungan yang tetap terjadi meski sertifikasi ada.
  • Pertanyaan apakah sertifikasi mengubah hal mendasar: Sertifikasi bisa menjadi “label” tanpa perubahan mendalam jika tidak diikuti dengan pengawasan yang konsisten, keterlibatan masyarakat, dan perubahan sistemik.

Menimbang: Solusi atau Ilusi?

Apakah sertifikasi ini solusi atau ilusi? Jawabannya berada di antara keduanya sertifikasi bisa menjadi bagian penting dari solusi, tetapi bukan jaminan secara otomatis. Beberapa poin untuk dipertimbangkan:

  • Jika tata kelola, penegakan hukum, dan partisipasi masyarakat kuat, maka sertifikasi mempunyai potensi besar menjadi solusi.
  • Tapi bila sertifikasi hanya dijalankan sebagai formalitas, tanpa perubahan praktik lapangan, maka bisa menjadi ilusi label “berkelanjutan” yang tidak terekam dalam realitas.
  • Kunci keberhasilan adalah: inklusi petani kecil, transparansi, harmonisasi standar (ISPO & RSPO), dan dukungan regulasi yang efektif. Sebagaimana disebut bahwa harmonisasi antara ISPO dan RSPO dapat menjadi solusi untuk efisiensi dan jangkauan yang lebih luas.
  • Peran pasar global dan konsumen juga penting: permintaan untuk sawit bersertifikat dan kemampuan memastikan rantai pasok yang transparan akan meningkatkan tekanan positif bagi perubahan.

Kesimpulan

Skema sertifikasi sawit berkelanjutan seperti ISPO dan RSPO memegang peran penting dalam kerangka keberlanjutan industri sawit Indonesia namun mereka bukan jawaban tunggal. Kita harus menyadari bahwa sertifikasi bisa menjadi solusi jika dilaksanakan dengan benar, tetapi bisa pula tetap ilusi jika hanya menjadi label. Untuk menegakkan “solusi”, dibutuhkan komitmen bersama: pemerintah, pelaku industri, petani kecil, masyarakat sipil, dan konsumen global. Tanpa itu, sertifikasi hanya akan menjadi jubah formalitas tanpa perubahan nyata di lapangan.

Referensi

  • “Press Release: RSPO-ISPO Collaboration Key to Smallholder Inclusion in Sustainable Palm Oil Ecosystem”, RSPO, 11 Mei 2022.
  • “The Implementation of Indonesian Sustainable Palm Oil Certification (ISPO): Opportunity for Inclusion of Palm Oil Smallholder in Riau Province”, Widyatmoko et al., JMI.
  • “Indonesia needs to push for ISPO and RSPO harmonisation”, PwC Indonesia, April 2023.
  • “Measuring Implication of RSPO Certification Implementation”, WWF Indonesia, 2023.
  • “Apa Perbedaan Sertifikasi ISPO dan RSPO untuk Kelapa Sawit?”, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Seruyan, 6 Sept 2022.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *